Saat itu adalah bulan Ramadhan. Sungguh, Ramadhan
terberat bagi kami.
Setiap hari, selama kurang lebih 23 hari aku bersama ibu,
Omku dan pakdeku bergantian untuk menjaga beliau. Berat untuk kami kala itu, terutama
ibuku, tapi inilah takdir yang Allah berikan kepada kami. Namun, aku sangat
bersyukur dengan segala peristiwa yang aku alami. Allah sangat sayang dengan
keluargaku, termasuk bapak. Hari-hari di rumah sakit terlewati dengan berat,
semakin hari ingatan bapak menurun. Setelah dilakukan MRI, kami semua diberi
tahu jika ada tumor di tulang belakang bapak, dokter pun juga telah
menjadwalkan untuk operasi bapak.
Hari lebaran tiba… untuk pertama kalinya, aku, ibuku,
adikku, dan bapak menjalani malam takbir dan lebaran di rumah sakit. Hari itu
masih ada canda tawa diantara kami, bapak memang orangnya suka bercanda. Malam harinya
kita bertiga pulang, karena keesokan harinya ibu harus bekerja. Setelah selesai
dengan pekerjaan ibu, aku dan ibuku ke rumah sakit. Ke ruangan tempat biasa bapak
di rawat. Namun sesampainya disana, kami diberi tahu jika bapak dipindah
rungan. Sampai di ruangan bapak yang baru, sungguh aku kaget dengan kondisi
bapak. Tidak pernah terbayangkan jika bapak dirawat di ICU.
Saat itu, bapak sudah dipasangi alat bantu pernafasan,
selang alat bantu makan... saat itu, aku juga berharap dengan kondisi bapak,
akan membaik. Aku tidak tahu apa yang harus aku lakukan, selain berdoa. Hingga akhirnya,
bapak dibacain surat yasin. Dan aku disuruh buat bisikin bapak nama-nama Allah.
Bapak nangis, ya tentu aku juga nangis. Aku kuatin bapak lewat bisikan itu, “pak,
ayo pak… bapak kuat.”
Tak pernah aku melihat ibu se-menangis itu… melihat orang
yang dicintainya berbaring tak berdaya, ya mungkin ibu sudah tau apa yang akan
terjadi. Takut. Kami sungguh takut, takut sekali. Malam itu adalah malam
terberat bagi kami…
Ibu menunggu bapak disamping tempat tidur bapak, aku dan
adikku disuruh pakdeku untuk istirahat di balkon ruangan. Sekitar jam satu atau
setengah dua pagi tepatnya, aku dibangunkan ibuku buat liat bapak. Aku bangun dan
ku datangi bapak, ku lihat layar monitor yang berada di samping kiri bapak,
semua sudah menunjukkan angka yang rendah.
Aku bisiki bapak, “pak, iki ika, pak…ayo bapak kuat, Laa ilaha illallah” hingga berulang
kali. Namun aku sudah tidak sanggup menahan air mata, mungkin saat itu nafas
bapak sudah di tenggorokan. Hingga ku melihat nafas panjang bapak, untuk
terakhir kalinya… dan akhirnya bapak pulang. Bapak udah sembuh dari segala rasa
sakitnya.
Hancur hatiku saat itu. Patah hati terhebat dalam
hidupku. Di depan mataku, aku melihatnya pergi tidak akan kembali, jauh, sangat
jauh, dan selamanya…. Dan aku harus menerima kenyataan, salah satu orang
terpenting dalam hidupku pergi. Tanggal 11 Agustus 2013, sekitar pukul 02.02
WIB di Moewardi. Cerita kami akan berbeda tanpanya, namun inilah kenyataannya.
Hari-hari tanpa bapak dimulai, sungguh berbeda. Air mata
tidak akan merubah segalanya. Pak, padahal aku dulu berharap bapak bakal
nemenin aku wisuda, bakal jadi wali nikah aku, tapi ternyata rencana Allah
berbeda. Setidaknya bapak sudah sembuh dari rasa sakit bapak.
Maaf ya, Pak kalo aku masih nangis kalo kangen sama
bapak. Semoga jalan bapak tidak terhambat dengan kesedihan kami disini… semoga
doa dari anak-anakmu sampai padamu. Lewat doa kusampaikan rinduku.
Semoga Surga untukmu, Pak.